Pada tahun 1944, ibu dan saya termasuk enam puluh wanita yang ditawan Nazi di sebuah kandang kecil di Ludenburg, Jerman. Wanita yang lain adalah orang Yahudi dan hanya kami berdua yang Kristen. Meskipun begitu, karena hari Natal semakin dekat, ibu dan saya ingin mempersiapkan sesuatu untuk merayakannya.
"Kita akan membuat sebuah pohon Natal," tiba-tiba ibu berkata begitu pada hari Minggu Advent. Lalu ibu menguraikan rencananya, sebuah rencana yang harus dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Pada malam Natal, wanita-wanita yang lain mengamati dengan penuh perhatian waktu kami membuat sejumlah hiasan yang aneh dan mulai membuat sebuah pohon Natal. Mula-mula dikeluarkan sebatang kayu panjang yang saya temukan di kandang dan saya sembunyikan di bawah tempat tidur. Pada batang tersebut, kami mengikat ranting-ranting kecil pohon cemara, yang diambil dari tumpukan kayu bakar.
Dan setelah susah payah memotong dan membentuk sebuah kaleng timah, kami memiliki sebuah bintang, seperti bintang yang bersinar di Betlehem. Untuk hiasannya kami memakai potongan kertas yang dibentuk melingkar lalu dihiasi dengan benang rajutan bekas yang berwarna. Setelah serangan udara berakhir, kami sering menemukan benang perak yang panjang di tanah. Benang itu sekarang membalut tipis pohon kami. Tetapi setelah semua itu diletakkan pada tempatnya di pohon, kami merasa masih ada yang kurang. "Lilin," kata ibu. "Seandainya kita mempunyai beberapa batang lilin." Dan saya langsung tahu dimana saya dapat mengambilnya – dari tiga lentera di kandang babi. Saya merayap kedalam "Vila Babi" (kami menyebutnya begitu karena tempat dan makanan di situ lebih baik dari yang kami peroleh) dan memotong sepotong kecil lilin dari setiap lentera.
Sekarang pohon kami tampak hidup. Bayangan cahayanya menari-nari di mata semua wanita yang berkerumun mengelilingi pohon itu. Ibu mengeluarkan kitab Perjanjian Baru miliknya yang berharga dan membacakan keras-keras Kabar Baik itu. Lalu dengan suara pelan, kami mulai menyanyikan lagu-lagu Natal klasik, yang diakhiri dengan lagu "Stille Nacht, Heilige Nacht" (Malam Kudus, Sunyi Senyap). Tiba-tiba, pintu terayun terbuka dan Max Warger, sipir penjara melangkah masuk. "Apa ini?" tanyanya dengan kasar. "Malam ini malam Natal," kata ibu dengan pelan.
"Kami merayakan malam yang kudus." "Kalian orang Yahudi?" tanyanya tidak percaya. "Anak perempuan saya dan saya adalah orang Kristen." "Tidak ada bedanya. Kalian berdarah Yahudi." "Begitu juga orang Kristen yang mula-mula," jawab ibu dengan tegas. "Kekristenan adalah masalah iman, bukan masalah bangsa." Dengan penuh kemarahan, Wagner menarik pohon kami, memporak-porandakannya dan melemparkan potongannya ke sudut ruang.
Ia menghentakkan kakinya mematikan cahaya lilin. Dalam kegelapan, saya mengulurkan tangan saya menggenggam tangan ibu yang meraba-raba dari bangku tidurnya di bawah. "Kita sudah merayakan Natal," bisiknya. Malam itu kami tahu pasti bahwa hari Natal itu abadi. Tidak peduli bagaimana Natal itu dirayakan. Tetapi hari Natal yang istimewa itu tidak akan terlupakan, karena pohon yang unik hasil imajinasi kami.
sumber: http://www.unitedfool.com/2003/12/05/natal-yang-istimewa-kisah-nyata/
No comments:
Post a Comment